Senin, 15 April 2013

Buya Wahhab (Tokoh Betawi Bukit Duri)



Tulisan ini diambil dari beberapa situs, untuk mengenang kakek saya yg tidak pernah saya lihat tapi selalu saya dengar dari orang-orang tua di bukit duri, semoga keturunannya selalu mendapat perlindungan dan petunjuk dari Allah SWT... Amiin



Mu’allimin Wahab adalah ulama nomor  satu di tanah Betawi Kawasan Bukit Duri setelah beliau barulah yang lainnya. Ia lahir di Jakarta pada tahun 1908 dengan nama Abdul Wahab, anak pasangan Muhammad Sholeh dan Napsiah. Ibunya adalah seorang guru agama bagi hampir seluruh warga betawi di bukit duri dan sekitarnya pada saat itu, dengan sapaan akrab guru Nap. Sang ibu adalah tokoh masyarakat yang sangat disegani.Dari wanita inilah kemudian lahir banyak Ulama dan Habaib berdarah betawi di Bukit Duri Jakarta.
Mu’allim Wahab, demikianlah nama seorang tokoh yang pernah sangat akrab di dengar bagi masyarakat  di kawasan Bukit Duri di masa lalu. Secara  historis, peranan Mu’allim Wahab sangatlah sentral dalam membentuk masyarakat Bukit Duri sebagai salah satu wilayah dari sedikit wilayah di Jakarta ini yang memiliki asatidz dan keterkaitan keluarga dengan Guru Nap.
Salah satunya adalah keluarga Habib Abdurahman Bin Ahmad bin Abdul qodir Assegaf, termasuk di dalamnya. Karena Habib Abdurahman menikah dengan H.Barkah, yang tak lain adalah cucu dari Guru Nap. Sehingga seluruh putra Habib Abdurahman,yang saat ini juga menjadi ulama,pun tak lain keluarga besar Guru nap, ibunda dari Mu’allimin Wahab.
Setelah dididik dalam lingkungan  keluarga yang penuh nuansa keilmuan, terutama dari tangan dingin sang ibu, ia melanjutkan pelajarannya kepada guru Marzuki inilah dirinya semakin terbentuk sehingga menjadi ulama besar pada beberapa dekade silam.
Teladan Kesabaran
Hampir semua masalahnya yang ada dihadapinya dengan penuh kesabaran, kesabarannya tidak mengenal waktu dan tempat. Kepada murid-muridnya ,maupun di tengah keluarganya. Walhasil, dalam kondisi apapun ia dapat tetap tampil sebagai seorang yang disegani, karena kesabarannya yang luar biasa tinggi.
Suatu ketika sepeda yang iya gunakan di pengadilan agama hilang di curi orang. Sedikitpun tak keluar dari lisannya kata-kata keluhan apalagi celaan untuk orang yang mengambil sepedanya. di tengah perjalanan pulang seseorang yang sering melihat ia menaiki sepeda bertanya. Dengan ringan dia menjawab” Ada yang pinjam”
Pada saat yang lain sudah dua bulan beras jatah bulanan dari kantornya tidak ia ambil. Setelah lewat dua bulan, salah seorang karyawan lainya mengatakan,”Mu’allim berasnya kok gak diambil-ambil, saya bawa kerumah ya.?
Mu’allim menerima jasa baik yang ditawarkan. Rupanya entah salah paham atau memang maksudnya tidak baik, beras tersebut ternyata di bawa kerumahnya si karyawan itu.
Setelah beberapa hari istri Mu’allim mulai gusar dan emosinya meninggi, bahkan sampai marah-marah. ”belajar bisa marah ama orang, jatah beras dua bulan di ambil diem aje!!!” Mu’allim tetap tenang dan tidak melayani kemarahan sang istri, bahkan ia menjawab ”berarti itu bukan rizki kita, insya allah nanti ada gantinya.”
Tak berapa lama murid terdekatnya datang. H.Yunus mendengar ada sedikit kegaduhan di rumah itu, si murid memberanikan diri untuk bertanya gerangan apa yang terjadi. Istri Mu’allim menjawab ”Ni…guru lu, beras jatah dua bulan di ambil, didiemin aje.”
Spontan sang murid berinisiatif menjawab, ”O.. beras yang itu ada di rumah saya, nanti saya ambilin”
Bergegas H. Yunus berangkat ke pasar dan membeli dua karung beras, dan langsung diantarnya ke rumah Mu’allim.
Di keluarganya, Mu’allim juga mendidik anak-anaknya dengan penuh kesabaran. salah seorang putranya, Ustadz Muhammad yang saat ini meneruskan jejak dakwahnya mengatakan, ”orang tua saya tidak pernah ada marahnya sama sekali kepada anak-anaknya, bertolak belakang dengan ibu yang amat tegas. Ujar anaknya.
Di samping sabar, ia juga sosok orang tua yang sangat perhatian dengan keluarga besarnya. Sering kali ia membeli makan dalam jumlah yang agak banyak untuk kemudian di bagikan kepada kerabatnya yang tinggal di Bukit Duri. meski sudah menjadi sosok yang sangat dihormati ketika itu, namun ia tidak segan-segan untuk menghampiri rumah kerabatnya satu persatu. begitu pula bila menjelang lebaran, hampir semua kerabatnya mendapat hadiah darinya berupa sarung, baju atau bingkisan lainya. Padahal ia sendiri bukan orang yang berlebih, melainkan orang yang hidup dengan penuh kesederhanaan.
Saat tekanan penjajah Belanda sedang keras-kerasnya di wilayah Bukit Duri dan sekitarnya, seluruh ulama yang berdiam di sana sempat angkat kaki dari wilayah itu, dan pindah ke kampung lain. Tapi  tak demikian halnya dengan Mu’allim Wahab ia tetap bersabar menetap dirumahnya, meskipun sempat ada suara-suara miring tentang dirinya karena pilihannya yang tetap untuk tidak pindah. Rupanya hal itu dikarenakan perhatiannya yang sangat mendalam terhadap masyarakatnya yang masih tetap tinggal di sana. Katanya pada waktu itu, ”kalau saya ikut pindah juga, lalu kalau di sini ada yang berzina karena tidak ada yang menikahkan atau tidak ada yang mengajarkan akhlaq kepada mereka, bagaimana?
Isyarat menjelang wafat
Sebagai seorang ulama, Mu’allim Wahab sangat dikenal kealimannya. Lantaran keahliannya, tidaklah aneh bila pada waktu itu hampir seluruh acara keagamaan dan kemasyarakatan di wilayah Bukit Duri diselesaikan lewat keputusannya. Karena kealimannya itulah ia dipercaya untuk memangku jabatan ketua pengadilan agama Jakarta selatan, bahkan kemudian untuk lingkup Jakarta. Pada masa itu, posisi strategis ketua pengadilan agama tidak diduduki oleh pejabat karier seperti saat ini, tapi dipercaya kepada seorang ulama yang memang diakui kedalaman ilmunya. Sebelum Mu’allim Wahab yang menjabat posisi itu adalah K.H Abdul Hamid. Saat ia bertemu Mu’allim Wahab yang kemudian ia dengar akan masuk dijajaran pengurus pengadilan agama pada waktu itu, spontan ia mengatakan mulai minggu besok Mu’allim Wahab yang akan memimpin pengadilan agama ini.
Di mata para ulama di masanya, ia juga memiliki kedudukan yang istimewa. Guru Mansur Jembatan Lima, seorang ulama besar tempo dulu di Jakarta misalnya, pernah mewasiatkan, bila ia telah wafat, hendaknya orang-orang yang biasa mengaji padanya melanjutkan pelajaran kepada Mu’allim Wahab.
Murid-muridnya tersebar di banyak tempat. Di Bukit Duri sendiri ia sempat mendirikan kumpulan dengan nama  Jam’iyyah Syubbanul Muslimin. Ia juga sempat menulis beberapa kitab diantaranya yang masih tersimpan hingga kini adalah sebuah kitabnya dalam bahasa arab pada masalah ilmu arudh (bagian dari ilmu syair). Al-awzan Al-Asjadiyah.
Di antara muridnya yang menjadi ulama besar adalah Mu’allim Yunus dan K.H Abdullah Syafi’i . Bahkan K.H Abdullah Syafi’i pernah mengatakan bahwa gurunya Mu’allim Wahab adalah gurunya yang pertama kali, yang telah banyak membentuk dirinya, sebelum ia mengenal dan berguru kepada guru lainnya.
Selain alim, sebagimana para ulama jaman dahulu , ia juga memiliki ke istimewaan dalam hal spiritual . H yunus murid terdekatnya pernah bertanya kepadanya bagaimana gambaran tentang Lailatul Qodar. Saat ditanya hal itu Mu’allim Wahab sempat seperti tak dapat berkata, lantaran sulit menggambarkan keagungan malam itu. Selang beberapa saat ia menjawab dan bercerita, pada suatu malam di bulan ramadhan, sepulangnya ia dari masjid di tengah malam, sesampainya ia di rumah ia kaget menyaksikan ke agungan malam itu, ternyata rumahnya menjadi terang benderang. Dan ia segera mengambil air wudhu menuju sumur dekat rumahnya, kemudian ia kembali dikagetkan karena sumur yang biasanya di timba untuk mengambil airnya, di malam itu menjadi luber dan melimpah ruah. Hingga untuk  mengambilnya ia cukup mencidukan gayung dengan tangannya. Rupanya malam itu ia memperoleh anugerah Lailatul Qodar.
Kamis sore dibulan Dzulqad’dah 1390 H/januari 1971, menjelang wafatnya Mu’allim Wahab yang sedang sakit keras, mengatakan kepada keluarganya bahwa ia ingin bertemu dengan Habib abdurahman Assegaf, atau yang biasa disapa Al-walid… sebelum keluarganya menyampaikan pesan itu, rupanya hubungan bathin di antara keduanya telah membawa langkah kaki Al-walid untuk segera menemuinya, seakan Al-Walid telah mendengar pesan Mu’allim Wahab.
Sesampainya di kamar Mu’allim Wahab, keduanya berbicang-bincang empat mata. Kemudian tak lama Al- Walid keluar dari kamar dan mengatakan kepada keluarganya agar segera mempersiapkan segala sesuatunya, karena waktunya sudah tidak lama lagi.
Jum’at dini harinya, sekitar pukul tiga malam. Ia mengatakan kepada H. Yunus agar menyampaikan pesan kepada muridnya K.H Abdullah Syafi’i, supaya bersedia menjadi imam dala sholat  jenazah bagi dirinya. Untuk menyampaikan amanah itu, H. Yunus agak ragu, karena sudah ramai berita yang mengatakan K.H  Abdullah Syafi’i akan segera pergi menunaikan ibadah haji. Maka tanpa menunda-nunda H. Yunus segera mendatangi rumah K.H Abdullah Syafi’i dan menyampaikan pesan  Mu’allim Wahab.
K.H Adbullah Syafi’i menerima pesan itu sebagai isyarat bahwa wafatnya Mu’allim Wahab memang sudah dekat sangat dekat, oleh karenanya iapun tak ragu menunda keberangkatannya. Dengan tegas K.H Abdullah Syafi’i menjawab “ ya, insya allah bisa”
Kabar tentang akan wafatnya Mu’allim Wahab sudah menyebar kemana-mana sehingga jum’at pagi itu rumahnya dipenuhi orang banyak. Hampir semua Ulama besar di Jakarta berkumpul di rumah Mu’allim Wahab, mendampinginya dengan mengaji dan membacakan surah yasin dan yang lainnya saat itu, Al-Walid tidak tampak di tengah-tengah mereka dan Mu’allim Wahab pun sudah tidak dapat berkata apa-apa.
Ketika waktunya hampir dekat Al-walid tiba-tiba datang dan memberikan aba-aba untuk seluruh yang hadir agar bersama-sama membacakan tahlil dengan dipimpin oleh Al-walid sendiri. Anehnya Mu’allim Wahab, yang sedari tadi tidak dapat berkata apa-apa , seketika ikut bertahlil bersama dengan suara yang cukup jelas terdengar. Tidak lama, setelah kalimat tahlil di baca berulang-ulang secara bersama-sama sekitar lima menit, Mu’allim Wahab pun menghembuskan nafasnya yang terakhir
Jum’at sekitar pukul sembilan pagi Mu’allim Wahab wafat, dan kemudian dishaladkan oleh K.H Abdullah Syafi’i, sebagaimana pesannya. Jenazah yang mulia di makamkan di sekitar Masjid Al-Makmur, yang dulu berdiri atas perkenannya, saat ikhtilaf (perselisihan antara ulama) karena letaknya terlalu dekat dengan Masjid Ath-Thahiriyah.
Kealiman dan Kesabarannya telah menuntun Mu’allim Wahab menutup kehidupannya di alam fana ini, dengan mengucapkan kalimat tauhid. La Ilaha Illallah…………

Tidak ada komentar:

Posting Komentar